An Ode to A Scorpio

Aku senang sekali mengarsipkan pelbagai peristiwa di dalam daftar putar berisi lagu-lagu yang seringkali mengundang kembali ingatan ke dalam ruang dan waktu yang partikular. Daftar putar—sama halnya buku-buku—tersusun rapi dan cantik dalam perpustakaan kepalaku.

Saat mendengar lagu “Musim Ujan” dari Sore membuatku membayangkan sedang melihat keluar jendela pesawat yang membawaku pulang ke rumah di akhir perkuliahan. Saat mendengar “After Hours” milik Velvet Underground membuatku membayangkan lengking peluit commuter line yang lama kutunggu kedatanganya di Stasiun Tanah Abang demi kembali ke Tangerang.

Seperti ekspresi politik, daftar putar juga merupakan Yang Personal. Aku sungguh penasaran dengan apa yang didengarkan oleh Jane Austen saat menulis novel Pride and Prejudice; mencurigai daftar putar John Mayer sebelum ia mencumbu kekasihnya; serta menginginkan musik pengantar tidur Bukowski setelah gelas kesekian ia ambruk ke lantai. Omong-omong, Seorang bijak yang berziarah ke Olympus pernah berkata: “musik adalah filsafat paling berirama”.

Aku pernah menulis beberapa fanzine dan menyelundupkan catatan kaki berupa rekomendasi lagu-lagu yang aku suka. Daftar putar juga bisa menjadi preferensi radikal bagi seseorang yang sedang mengagumi seseorang yang lain dengan perasaan bunga matahari. Tetapi juga dapat berubah menjadi nirfaedah, insensitif dan menyebalkan bila berprasaan bunga bangkai.

“An Ode to A Scorpio” misalnya. Daftar putar berisi 10 lagu yang baru aku susun Februari lalu dan dengan sempurna mengkurasi memento kehidupanku yang sedang babak-belur dihajar ketidakjelasan. Daftar putar itu berkelindan keputusasaan dan euthanasia syndrome mulai menganeksasi perasaanku.

Aku memutarnya berurutan saat berkendara menuju Omah Mendut. Kokpit mobilku tiba-tiba seperti kamp tahanan paling mengerikan di Guantanamo dan “An Ode to A Scorpio” adalah kumpulan musik penyiksaannya. Aku terpaksa menepikan mobil di garis badan jalan Borobudur dan memukuli setir sejadi-jadinya.

Aku duduk bersandar di bangku taman samping Candi Pawon, Wanurejo, lalu melamun mengamati kosmos dan pink moon. Pada suatu malam Februari yang dingin, Nick Drake, seorang musisi obskur, pernah menulis lagu berjudul “Pink Moon” sebelum akhirnya memutuskan bunuh diri. Di bulan yang sama pula, di malam Valentine yang bringas, tumpah 160 peluru yang menggantikan gelas anggur, bunga mawar, makan malam yang romantis dan cinta yang melimpah ruah dengan darah.

Daftar putar ini, “An Ode to A Scorpio,” menjadi medium paling representatif bagi kehidupanku yang amburadul, tidak menarik dan tanpa tujuan. Daftar putar ini juga menjadi eskapisme yang, tidak hanya membuatku dikepung oleh kesedihan, tetapi juga membantuku melarikan diri dari realitas.

#Playlist: An Ode to A Scorpio

  1. Novo Amour – Anchor
  2. Manic Street Preachers – The Everlasting
  3. Jason Mraz – Mr. Curiosity
  4. The Verve – The Drugs Don’t Work
  5. Bob Dylan – Man Gave Names to All the Animals
  6. Velvet Underground – Pale Blue Eyes
  7. Velvet Underground – Femme Fatale
  8. Dashboard Confessional – This Ruined Puzzle
  9. Dashboard Confessional – Shirt and Gloves
  10. Dashboard Confessional – A Plain Morning

Tembalang. 2023